Senin, 22 September 2014

QUICK COUNT, KPI DAN KETAKUTAN

QUICK COUNT, KPI dan KETAKUTAN
Pemberhentian Penayangan QC Mengubur Kebebasan Pers dan Kemunduran Demokrasi;
Suatu Kommentar atas Sikap KPI Pada Pilpres 2014
Oleh : Nekson M Simanjuntak





Sabtu, 12 Juli 2014, KPI instruksikan pemberhentian penayangan dan publikasi hasil QC lembaga survei dan Real Count dari dua kubu Pilres di seluruh stasiun TV di Indonesia. Pemberhentian ini didukung oleh komisi I DPR RI. Sikap ini diambil karena takut terhadap ancaman atau benturan fisik para pendukung kedua capres/cawapres yg sama klaim kemenangan. Sesungguhnya pemberhentian itu adalah bentuk ketakutan demi menjaga keamanan. Harga mahal dibalik pemberhentian tersebut adalah telah membunuh dan mengubur kebebasan pers sendiri yang diperjuangkan di era reformasi. Apalagi KPI ada dan diperjuangkan dengan tujuan kebebasan pers.

Instruksi KPI ini dianggap sebagai jalan alternatif mengatasi situasi nasional yg terbelah kepada kedua pasangan capres/cawapres yg sama2 klaim unggul dlm Pilpres 9 juli. Pemberitaan keunggulan masing-masing capres yg didukung oleh data quick count dari berbagai lembaga surey dan semakin hangat dan dinilai panas. Delapan lembaga survei menangkan Jokowi-JK dgn kisaran 52-53% sementara Prabowo/Hatta unggul tipis menurut 4 lembaga survey. Konsentrasi kekuatan massa tentu akan tertuju pada hasil pilpres ini karena berharap agar presidan pilihannya menang. 

Persaingan ketat Pilpres ini dianggap rawan konflik, berbagai elemen masyarakat pun serukan pengawalan ketat perhitungan suara dan desak KPU independen tanpa dipengaruhi pihak manapun dan tanpa takut terhadap presser (tekanan) dan mendorong pihak Kepolisian untuk jamini perhitungan suara yg jujur dan tanpa kecurangan. Bahkan Presiden didesak untuk mengawal Pilpres ini secara jujur hingga penetapan pemenang pemilu oleh KPU tanggal 22 juli. Berbagai desakan terhadapmpemerintah tersebut adalah sungguh ssangat wajr  karena itulah tujuan bernegara. Namun sangat berbeda jika KPI menghentikan publikasi perhitungan cepat tersebut karena lembaga ini bertujuan mendorong kebebasan pers dan membuka akses informasi seluas-luasnya bagi masyarakat agar dapat mengakses informasi dan fenomena yang terjadi di tengah2 masyarakat. 

Bagaimana kita melihat instruksi KPI ini dari segi kebebasan dan demokrasi ke depan ? Kebebasan Pers adalah salah satu produk reformasi yang mungkin dibanggakan dan mungkin hanya sisi ini yang tertinggal, sementara agenda lain masih dianggap lambat.  Bagi penulis hal ini sangat mengejutkan. Setelah 16 tahun reformasi lembaga KPI yang mesti mendorong transparansi dan kebebasan pers justru melakukan tindakan yang berlawanan dgn tujuan KPI itu sendiri. Betul alasan ini sangat logis demi keamanan nasional. Apakah dengan ancaman terjadinya keributan dari pendukung capres/cawapres maka masyarakat Indonesia harus mundur dari kebebasan pers atau membunuh dan mengubur kebebasan pers. Apakah tidak ada hukum bagi yang akan melakukan keributan karena pilihannya tidak menang, dimana polisi, dimana pihak keamanan dan dimana negara?

Apapun hendak dikata bahwa Langkah KPI ini sungguh bertentangan dengan tujuan KPI, jika karena ancaman keamanan seharusnya KPI merekomendasikan untuk memperkuat keamanan dan penegakan hukum bukan mengorbankan kebebasan pers sebagai garda depan dalam demokrasi. Dalam hal ancaman dan ketakutan situasi panas para pendukung mestinya KPI dorong pihak keamanan meningkatkan kewaspadaan dan penegakan hukum yg tegas bagi yg mencoba melakukan kisruh serta menyuarakan jaminan kenyamanan pilihan yg berbeda. Hal ini penting dilakukan agar masyarakat tidak bermain-main dengan hukum. Apakah kalau capres tertentu kalah dapat melakukan kisruh dan anarkis. Sekali lagi langkah yg dilakukan KPI yg hentikan pemberitaan Quick Count ini telah membunuh dan mengubur kebebasan pers. Mestinya lembaga ini mendorong pemberitaan yg lebih bebas dan bertanggungjawab sehingga masyarakat dapat mengakses informasi yg berbeda dan menghargai perbedaan dalam payung hukum yang kuat. Mestinya yang didorong adalah tanggung jawab dan pencerahan berbagai elemen masyarakat. Misalnya jika lembaga survey melakukan penelitian dan surveynya keliru tentu ada sanksi moral yg sangat tinggi, jika tak penuhi kaidah yang beri sanksi dan mengubur lembaga survey tersebut agar tak bisa lakukan penelitian picisan. Demikian terhadap stasiun televisi yang memberitakan pembohongan publik misalnya maka ijinnya dicabut dan hukum yg tegas. Moment ini sebetulnya mesti moment penting dalam pendidikan bagi masyarakat menuju demokrasi yg sesungguhnya dan proses edukasi bahwa jika tak menang capres/cawapres tetap menghargai hasil dan tidak melakukan tindakan anarkis. Sehingga masyarat terdidik dengan sikap fair play, mental satria dan legowo dalam setiap pertarungan.

Artinya KPI seharusnya mempertahankan kebebasan pers dan rekomendasikan kebebasan yg bertanggungjawab. Bisa bebas mendirikan lembaga survey dan buat Quick Count namun turuti kaidah dan bersedia kena sanksi berat jika tak penuhi kaidah. Langkah seperti ini yg mestinya dilakukan KPI bagi masyarakat bukan instruksikan pemberhentian data dan informasi yg berdampak hak memperoleh informasi yg dibutuhkan oleh masyarakat. Demikian dengan stasiun TV jika dlm pemberitaan tak memenuhi kode etik pemberitaan dapat KPI dapat memberikan sanksi yg tegas. 

Langkah KPI ini akan menjadi preseden buruk ke depan dalam berdemokrasi di Indomesia khususnya di Pemilu (Pileg dan Pilpres) dan Pilkada. Kalau sempat moment ini menjadi diundangkan tak boleh lembaga survey publikasi lewat media hasil hitungan cepat dalam pemilu dan pilkada proses tranparansi dalam demokrasi telah terkubur. Akses informasi pun jauh dari harapan masyarakat. Bukan kah dalam Pilkada akan terbuka klaim kemenangan dan berbagai pihak yang bertarung dalam perebutan Kepala Daerah? Dengan pemberhentian publikasi oleh KPI maka lembaga2 survey tidak dapat lagi melaksanakan fungsi penelitian dan publikasi yang sangat berharga bagi masyarakat. Padahal lembaga-lembaga survey yang independen dan obyektif adalah lembaga yang dipakai oleh masyarakat sebagai indikator lain dalam menilai hasil perhitungan suara oleh KPU dalam Pemilu. Kebebasan yang dikubur KPI akan sulit bangkit karena pengalaman Pilpres ini dan dengan alasan keamanan akan menjadi jalan mudah menutupi transparansi. Dalam setiap pemilu mesti dalam prinsip boleh berbeda namun masing-masing orang harus bertanggungjawab dlm kebebasannya, bebas dari tekanan dan intimidasi. Dalam alam demokrasi negara harus menjamin setiap orang nyaman dalam perbedaan.

Salam demokrasi, merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEKUASAAN DAN KERAJAAN ALLAH KEKAL

  Kotbah Minggu Akhir Tahun Gerejawi - Peringatan Orang Meninggal Minggu, 24 Nopember 2024 Ev. Daniel 7:9-14 KEKUASAAN DAN KERAJAAN ALLAH YA...