menginternalisasikan budaya kerja yang anti korup
Oleh Pdt. Nekson M Simanjuntak, MTh*
Pendahuluan
Kerja bagi seorang pelayan Tuhan adalah ibadah,
kerja adalah panggilan yang dilakukan dengan penuh tanggungjawab. Kerja bukanlah cara untuk
mendapat jasa atau fulus semata tetapi di dalamnya suatu amanat yang mesti dilakukan demi kemuliaan
Tuhan. Dalam pelayanan betul banyak hal sulit bisa terjadi bahkan terkadang
terhimpit, namun pelayanan yang tulus akan menghasilkan buah yang mulus itulah
yang mesti dimiliki oleh seorang hamba Tuhan dalam pelayanan.
Berangkat dari keprihatinan budaya korupsi Indonesia, penulis mencoba membuka wacana bekerja sebagai mandat ilahi dengan tujuan mencari alternatif melewati dua tantangan terbesar dalam bekerja, yaitu: kemalasan dan korupsi. Dengan menekankan pengertian bekerja sebagai mandat maka tugas berikutnya adalah menginternalisasikan budaya kerja yang bertanggungjawab. Dengan pandangan demikian dua tantangan bekerja yaitu kemalasan dan korupsi dapat teratasi. Hal ini penting karena kemalasan membuat orang tetap berpangku tangan, cepat menjawab dengan dalih ada kesilutan sana-sini untuk melegitimasi dirinya tidak berbuat dan melakukan apa-apa. Demikian halnya korupsi sebagai tantangan besar dalam bekerja; di dalam bekerja akan selalu terbuka ruang untuk korup apalagi dengan jabatan yang dimahkotai berbagai otoritas dan kuasa. Hal ini yang sering dikemukakan lewat ungkapan: power tent to corrupt. Di sini penulis mengajak pembaca untuk secara bersama-sama membahasakan korupsi merupakan lawan dari pada kreatio dalam teologi penciptaan. Dalam teologi penciptaan manusia memperoleh mandat untuk bekerja dan berkarya; menguasai dan memelihara alam yang baik untuk memenuhi hidup. Pada bagian amanat ini manusia juga memperoleh mandat untuk melawan dan memerangi korupsi, karena korupsi ibarat virus yang merusak tatanan baik. Pandangan theologi demikian perlu dikembangkan untuk menginternalisasikan budaya kerja yang anti korup.
Berangkat dari keprihatinan budaya korupsi Indonesia, penulis mencoba membuka wacana bekerja sebagai mandat ilahi dengan tujuan mencari alternatif melewati dua tantangan terbesar dalam bekerja, yaitu: kemalasan dan korupsi. Dengan menekankan pengertian bekerja sebagai mandat maka tugas berikutnya adalah menginternalisasikan budaya kerja yang bertanggungjawab. Dengan pandangan demikian dua tantangan bekerja yaitu kemalasan dan korupsi dapat teratasi. Hal ini penting karena kemalasan membuat orang tetap berpangku tangan, cepat menjawab dengan dalih ada kesilutan sana-sini untuk melegitimasi dirinya tidak berbuat dan melakukan apa-apa. Demikian halnya korupsi sebagai tantangan besar dalam bekerja; di dalam bekerja akan selalu terbuka ruang untuk korup apalagi dengan jabatan yang dimahkotai berbagai otoritas dan kuasa. Hal ini yang sering dikemukakan lewat ungkapan: power tent to corrupt. Di sini penulis mengajak pembaca untuk secara bersama-sama membahasakan korupsi merupakan lawan dari pada kreatio dalam teologi penciptaan. Dalam teologi penciptaan manusia memperoleh mandat untuk bekerja dan berkarya; menguasai dan memelihara alam yang baik untuk memenuhi hidup. Pada bagian amanat ini manusia juga memperoleh mandat untuk melawan dan memerangi korupsi, karena korupsi ibarat virus yang merusak tatanan baik. Pandangan theologi demikian perlu dikembangkan untuk menginternalisasikan budaya kerja yang anti korup.
Bekerja adalah mandat ilahi ini penting sebagaimana
dikemukakan oleh Dietrich Boenhoeffer pekerjaan murid adalah mandatoris, murid
tidak bisa bekerja diluar mandatoris yang diterimanya. Kalau misalnya semua
memahami dan menerima bahwa tugas anti korup adalah mandatoris dari Allah dunia
kerja akan menuju ke arah yang lebih baik. Hal inilah yang menjadi proposal
penulis dalam artikel ini agar dunia pelayanan gereja menerima mandat budaya
kerja yang anti korup.
Bekerja adalah mandat bukan hukuman
Penulis lahir di pedesaan dan berkesempatan melayani
beberapa kali di pedesaaan yaitu di Laguboti dan di Ressort Parpulungan Nauli.
Tidak jarang ungkapan dikalangan jemaat terdengar keluh anggota jemaat yang diungkapkan
begini: “aut sura so mardosa si Adam
dohot si Hawa ndang marhoihoi songon on” (Seandainya Adam dan Hawa tidak
jatuh dalam dosa, kita tidak mengalami lelah begini). Pandangan seperti ini
juga muncul ketika pernah melayani di Jakarta dan di Surabaya dalam berbagai
diskusi ada pemahaman bahwa manusia bekerja karena dosa Adam. Seandainya Adam
tak berdosa manusai hanya menikmati kehidupan dalam firdaus. Ini berarti pada umumnya
jemaat baik di desa maupun di kota pandangan bekerja adalah hukuman melekat di
jemaat. Manusia bekerja dipahami sebagai akibat dosa, apalagi pekerjaan itu
adalah pekerja berat dan melelahkan.
Kerja sebagai hukuman ini didasarkan pada pemahaman
bahwa di dalam ‘firdaus’ manusia tidak bekerja hanya tinggal menikmati karya
Allah di Taman Eden. Manusia bekerja dianggap sebagai kutuk atau hukuman yang
temurun kepada generasi Adam berikutnya atau dosa warisan. Pandangan semacam
ini sangat mudah dilegitimasi sebagaimana digambarkan dalam Kejadian 3:17-19. “...dengan bersusah payahlah engkau akan
mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput yang akan
dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu;
dengan berpelh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi
menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau
akan kembali menjadi debu.” Ayat inilah yang sering dipahami bahwa bekerja
adalah hukuman. Manusia berpeluh dan bersusah payah mencari nafkah sebagai
hukuman. Betul bahwa dalam perikop ini dinyatakan hukuman, namun hukuman
dimaksud adalah sebagai konskwensi pelanggaran. Perikop ini sesungguhnya lebih
jauh mau menjelaskan akan konsekwensi dosa, yaitu maut atau kematian (Band Rom
6:23). Akibat pelanggaran manusia keluar dari kekekalan memasuki dunia yang
fana yang akan berlalu. Konsekwensi pelanggaran ini diterima oleh manusia
sebagai akibat pelanggaran atas perintah Allah. Jadi dapat kita katakan
Kejadian 3 mau menjelaskan pada konsekwensi pelanggaran, bukan mau menjelaskan
tentang pekerjaan manusia. Manusia bekerja sebenarnya ditemukan pada teologi
penciptaan.
Manusia bekerja secara eksplisit sesungguhnya dapat
dilihat pada kisah penciptaan, di mana manusia yang segambar dengan Allah diberi
mandat yaitu memperoleh tugas untuk bekerja. Ini yang diperlihatkan dalam Kej
1: 27-28 dikatakan: “Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka. Allah memberkati mereka,
lalu Allah berfirman kepada mereka: “beranakcuculah dan bertambah banyak;
penuhilah bumi dan tahlukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan dan atas segala
binatang yang merayap di bumi.” Dengan nats ini sesungguhnya manusia bekerja
bukanlah sebagai konsekwensi dosa, melainkan sebagai mandat yang diterima sejak
penciptaan. Sungguh sangat jelas bahwa manusia yang diciptakan segambar dengan
Allah itu memperoleh mandat. Mandat
dimaksud adalah tugas dan tanggungjawab memenuhi bumi dan menahlukkannya.
Disini ada unsur berprokreasi dan berkreasi. Prokreasi tugas manusia memenuhi
bumi (berketurunan) dan tugas berkreasi manusia bekerja meniru dan meneladani
Allah yang bekerja. Jika Allah mencipta dari yang tidak ada menjadi ada, maka dalam
mandat ini manusia diberi tugas untuk berkreasi mengelola alam untuk memenuhi
hidupnya serta menolong dan menopang kehidupan umat manusia. Menguasai alam
tentu bukan dipahami sebagai legitimasi untuk mengeruk kekayaan alam dalam
bentuk yang destruktif tetapi imperatif didalamnya memelihara dan melestarikan
alam. Di dalam mandat ini ada imperatif untuk mengelola alam ciptaan yang
diciptakan baik adanya agar tetap baik. Inilah imperatif bagi manusia yang disebut
sebagai mandat ilahi. (Band. Dietrich Boenhoffer, Ethic, 1966)
Dengan demikian arti bekerja dapat disimpulkan
bahwa bekerja bukanlah hukuman melainkan sebagai mandat Allah bagi manusia
untuk mengelola alam demi memenuhi kebutuhan umat manusia. Kesimpulan demikian juga memberi tugas secara
eksplisit bahwa manusia harus menolak segala bentuk eksploitasi alam dan
penemuan tehnologi yang merusak alam dan mengancam kehidupan segala makhluk.
Bekerja: jalan memperoleh berkat
Berangkat dari pemahaman kerja sebagai mandat ilahi
maka kerja dapat diartikan sebagai segala bentuk usaha atau aktifitas manusia yang
sditerima dari Allah untuk memenuhi kebutuhnnya, menolong sesama dan memelihara alam. Hal ini dapat dibandingkan
dengan defenisi kerja menurut M.D Gelhard yang mengatakan bahwa “bekerja
sebagai investasi energi seseorang dalam rangka menguasai alam dan melayani
orang lain.” atau pendapat Paul R.
Stevens mengatakan bekerja adalah kegiatan bertujuan yang melibatkan energi
mental, emosional atau fisikal atau ketiganya dengan dibayar atau tidak.” (Lihat
dalam Jansen Sinamo, Teologi Kerja
Modern, 2013; 12). Dari kedua defenisi tersebut saling terkait bahwa
bekerja adalah segala aktifitas manusia memenuhi
hidupnya atau untuk menolong orang lain, baik karena memperoleh imbalan atau
tidak. Berkaitan dengan imbalan disini penting dimaknai sebagai legitimasi bagi
manusia untuk memperoleh berkat. Allah telah memberkati alam dan ciptaan sehingga
tersedianya kebutuhan manusia. Dilihat pada pihak manusia, Allah memperlengkapi
manusia; tubuh, indera, kekuataan fisik dan diberi akal dan pikiran untuk dapat
dipergunakan memperoleh berkat yang tersedia dan disedikan Allah dalam ciptaan.
Korrelasi manusia dengan berkat yang tersedia dalam alam ciptaan yang demikian
dapat kita sebutkan bahwa bekerja adalah jalan yang sah untuk memperoleh
berkat.
Mendalami pemahaman kerja yng demikian sejalan
dengan penjelasan Alkitab yang mengatakan: “jika seorang tidak mau bekerja,
janganlah ia makan.” (2 Tes 3:10, “Na so ra mangula, unang ma ibana mangan”).
Suatu penegasan tentang pentingnya dipahami bahwa hanya dengan bekerja orang dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Bekerja sebagai cara yang sah untuk memperoleh
berkat. Hal ini dapat kita bandingkan dengan M. Ghandi yang mengatakan bahwa
“salah satu dosa besar manusia adalah memperoleh kekayaan tanpa bekerja”. M.
Ghandi mengungkapkan demikian tentu mendorong usaha dan kerja keras manusia.
Tidak ada pencapaian kesuksesan tanpa ada kerja keras, jika sukses namun tak bekerja
itu adalah dosa. Pandangan semacam ini memerangi pikiran malas dan sekaligus
memerangi nafsu manusia yang ingin memperoleh kekayaan dengan jalan pintas. Hal
kedua yang ditentang M. Ghandi memunculkan pandangan itu melawan sikap
fatalisme, dalam fatalisme manusia dianggap sudah ditakdirkan menerima nasib
yang sulit diubah. Bagi Ghandi kerja keras dapat mengubah kemiskinan, namun
kekayaan tanpa bekerja adalah dosa.Pentingnya pandangan Ghandi ini Stephen R
Covey yang tekenal dengan gagasan Sevent Habits dalam leadership menekankan
budaya kerja yang demikian menjadi syarat mutlak menjadi pemimpin yang
berprinsip.
Maka tugas manusia mesti mewaspadai segala bentuk
yang menghambat orang untuk tidak bekerja. Salah satu hal yang di soroti kitab
Amsal adalah malas, malas menghambat orang menerima berkat bahkan menjadikan
miskin. Lihatlah misalnya pesan Salomo dalam Amsal 6:4-10 mengatakan:
“Janganlah membiarkan matamu tidur, dan kelopak matamu mengantuk.
Lepaskanlah dirimu seperti kijang dari pada tangkapan, seperti burung dari pada
tangan pemikat.
Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah
bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia
menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanan pada waktu panen.
Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Tidur sebentar lagi,
mengantuk sebentar lagi untuk tinggal berbaring, maka datanglah kemiskinan
kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang
bersenjata.”
Tantangan dalam bekerja; kreatio versus korupsi
Salah satu tantangan terberat dalam budaya bekerja
adalah korupsi. Korupsi diterjemahkan dari kata “corruption” suatu kata Latin
kuno yaitu “corrumpere” suatu kata yang memiliki arti luas namun menjelaskan
suatu keadaan baik berubah menjadi buruk dan bersifat negatif. Tentu banyak
definisi yang dapat kita jadikan sebagai referensi arti kata korupsi yang pada
intinya adalah bentuk kejahatan.
-
KUBI (Kamus
Umum Besar Indonesia) mendefenisikan bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk
seperti penggelapan uang, penerima uang sogok dan sebagainya.
-
Lexicon Webster Dictionary: “The act of corrupting,
or the state of being corrupt; purefactive composition, putrid matter; moral
perversion; depravity, pervesion of integrity, corrupt or dishonest proceeding,
bribery, pervesion from a state of purity, debasement, as of languange; a
debased from a word.
-
World Bank: “an abuse of entrused power by
politicians of civil servant for personal gain.”
Tentu banyak lagi defenisi yang dapat kita kutip
sebagai arti korupsi baik bentuk korupsi dan defenisi dari berbagai professi
dan jenisnya seperti: hukum, politisi, sosiologi, dll. Namun arti korupsi pada
intinya adalah sifat yang merusak atau destruktif. Korupsi adalah segala bentuk
pengrusakan tatanan yang baik, pengambilalihan milik bersama menjadi miliki
pribadi dan penggelapan. Artinya korupsi tetap sifatnya yang destruktif dan
merusak. Korupsi adalah kejahatan yang mesti diberantas dan diperangi.
Dengan pandangan demikian maka korupsi ini kontras
dengan creatio atau penciptaan. Jika
dalam creatio orang bekerja untuk menguasai dan memelihara karya Allah yang
baik adanya, dan berkreasi meneladani Allah yang bekerja menghasilkan kebaikan maka
korupsi adalah kebalikannya. Korupsi
adalah segala tindakan yang merusak yang baik dan upaya untuk menghilangkan
atau menggelapkan yang ada menjadi tak ada. Korupsi adalah berangsurnya yang ada
menjadi hilang dan menguap baik secara cepat ataupun perlahan. Pandangan semacam
ini perlu dikembangkan untuk mempertajam makna theologis menentang korupsi.
Alkitab mengajarkan bahwa manusia memperoleh mandat untuk bekerja dan bekreasi.
Allah memperlengkapi manusia dengan akal dan pikiran untuk bekerja dan berkarya
sebagai mandat Ilahi. Maka hal yang sama manusia harus memahami pula bahwa
melawan dan memberantas korupsi adalah merupakan mandat ilahi karena korupsi
adalah kejahatan dan musuh besar dari budaya kerja manusia.
Refleksi Teologis: menginternalisasikan budaya kerja yang anti korupsi
Di atas sudah ditunjukkan bahwa bekerja adalah
mandat ilahi, kemalasan dan korupsi adalah tantangan dalam bekerja dengan
demikian korupsi adalah bertentangan dengan budaya kerja sejak penciptaan, maka
tugas berikutnya adalah mencoba membuat refleksi teologis dengan mengembangkan
budaya anti korupsi dari tiga nats yang sengaja dipilih, yaitu; Amsal 30:7-9,
Mazmur 128:1-2, dan Fil 4:11-13. Tentu
masih banyak ayat alkitab yang dapat dikembangkan, namun ketiga hal ini sangat
menarik untuk mendorong budaya kerja yang anti korup.
1.
Hikmat
Dalam Bekerja Mendalami Amsal 30:7-9:
Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan itu Kautolak sebelum
aku mati, yakni:
Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan
kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku
menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak
menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku
mencuri, dan mencemarkan nama Allahku.
Teks ini merupakan hikmat yang sangat besar untuk
diteladani dalam budaya kerja. Teks berbentuk doa permohonan hikmat kepada
Allah dalam bekerja atau menjalani hidup. Jika diurai sebenarnya dapat dibagi
menjadi tiga poin, yaitu:
a. Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan
kebohongan
Ini budaya kerja yang berkarakter –
jujur dalam mencapai sesuatu. Dalam melakukan aktifitas sehari-hari tentu
banyak godaan untuk melakukan berbagai cara yang tidak sehat untuk mendapat
keuntungan sebesar-besarnya, atau pada sisi lain orang bisa menghindari dari
beban sehingga berbohong dan menipu diri sendiri. Ini suatu fakta yang sering
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan doa dokmat ini yang mengatakan jauhkanlah
kecurangan dan kebohongan mempertajam makna hakiki dalam mencapai dan menggapai
suatu prestasi. Amsal ini mengingatkan untuk apa orang mendapat medali atau
piala namun dengan mencurangi orang lain. Memang, piala bagi banyak orang
adalah tujuan, sehingga dengan cara apapun orang lakukan untuk memperolehnya,
namun Amsal ini memberikan makna yang dalam bahwa kebahagiaan tertinggi adalah
memiliki budaya kerja melalui kerja keras dan jerih juah yang jujur, bersih
dari kecurangan dan kebohongan.
b. Jangan berikan kemiskinan atau kekayaan
Pada umumnya setiap bercita-cita menjadi
kaya, hal itu adalah manusiawi, namun kenyataannya tak semua orang menjadi
kaya. Hal yang sama tentu sependapat dengan Amsal ini menolak kemiskinan. Hal itu
juga manusiawi namun kenyataannya kemiskinan tetap ada (Band. Mat 26:11). Apa
arti kedua realitas kehidupan manusia ini yang diangkat oleh kitab Amsal disini.
Pertama, permohonan ini sebenarnya
bisa dipahami bahwa keduanya bukanlah pilihan namun merupakan otoritas
pemberian Allah. Kedua, Amsal ini menunjukkan dampak dari keduanya pada diri
manusia, yaitu: di dalam kekayaan
melekat hubris atau kesombongan. Dengan kekayaan dan seluruh yang ada
pada dirinya manusia bisa sombong – ini adalah manusia hubris. Manusia hubris
akhirnya akan bisa menggugat eksistensinya dihadapan pencipta dan bisa lupa
bahwa segala sesuatu adalah pemberian Allah. Disini ada pesan menarik untuk
tetap mewaspadai hubris dibalik semua keberhasilan dan kesuksesan. Hal yang
sama di dalam kemiskinan ada pula ancaman, kesadaran akan lemahnya pribadi
melawan kegetiran hidup dalam kemiskinan bisa saja menjadi alasan untuk melakukan
kejahatan demi memenuhi hidup. Tidak sedikit orang membenarkan mencuri demi
alasan perut, yang sekalipun itu mesti tidak bisa dibenarkan. Hal inilah yang
mau ditunjukkan oleh Amsal ini, hubris dan dosa di dalam keduanya mesti dihindari,
namun bukan berarti menjadi kaya menjadi sombong dan miskin menjadi jahat.
Amsal ini mendorong dan menawarkan bagaimana orang hidup di dalam kedua
realitas ini dengan didasarkan pada menikmati bagian masing-masing. Ketiga, bukan suatu kemunafikan atau
kenaifan kedua permohonan ini melainkan suatu kesadaran diri. Menyadari ketidak
mampuan hidup di dalam kedua realitas ini adalah mendorong orang berhikmat
dalam bekerja. Hal ini ditemukan dalam kedua alasan berikut: “Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak
menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku
mencuri, dan mencemarkan nama Allahku.”
Suatu kesadaran yang mendalam sisi lain
dari realitas kaya dan miskin. Dr. Ulrich Beyer kedua realitas ini membutuhkan
suatu keseimbangan, sehingga orang yang berkecukupan dapat membantu saudaranya
yang miskin, menahan diri untuk belanja yang secukupnya, dan agar tidak
membuang-buang makanan (Ulrich Beyer, Kaya
dan Miskin, 2013)
c. Biarkanlah aku menikmati makanan yang
menjadi bagianku.
Inilah
budaya kerja yang sangat baik untuk diterapkan dengan menerapkan budaya kerja
yang fairly. Menanamkan nilai kerja pada diri sendiri untuk tidak mengambil
yang menjadi bagian orang lain. Cukup tragis jika orang hak kita dimbil orang
lain, maka hal yang sama berikanlah orang lain menikmati yang menjadi hak atau
bagiannya. Untuk menggambarkan ini cukup sederhana, seorang ibu membeli satu
kue dan memotong kue tersebut sejumlah anggota keluarga, semua orang
mendapatkan satu potongan. Jika ada orang yang mengambil dua potong maka akan
sendirinya akan ada konflik karena tidak dapat jatah. Adalah tidak adil jika
ada orang dua potong mengambil bagian dari saudaranya. Pesan dari sini ambillah
potongan yang disediakan menjadi bagian kita.
Dalam
dunia kerja sebenarnya analogi semacam ini perlu diterapkan dengan menghitung
tanggungjawab dan jasa yang mesti dibayarkan sebagai upah sesuai dengan
pembagiannya. Pesan ini mendorong dunia kerja yang lebih adil. Sungguh sangat tragis kalau suatu perusahaan
memperoleh keuntungan yang sangat besar namun karyawan tidak menikmati
keuntungan perusahaan, mereka hidup pas-pasan, berpeluh dan tenaga mereka
terkuras dengan upah yang tak wajar. Selain mendorong budaya kerja yang
berkeadilan pesan nats ini juga menempa budaya kerja yang menanamkan nilai keadilan
pada diri sendiri sekaligus karakter pekerja jujur. Pekerja yang memiliki
komitment untuk tidak menikmati hasil pekerjaan orang lain menjadi milik
sendiri. Baiklah masing-masing menikmati yang menjadi bagiannya, itu akan lebih
baik karena bebas dari penipuan dan pemerasan dan pemaksaan. Orang takut
memulai usaha karena takut ditipu, orang malas bekerja karena ada pemerasan,
orang takut membuka dunia usaha karena resiko sana-sini.
Biarkanlah aku menikmati yang menjadi
bagianku! suatu permohonan dalam dunia kerja agar terbebas dari pemerasan
dan terbebas dari penipuan. Selain itu menanamkan nilai-nilai pada diri sendiri
dengan suatu komitment tak akan mengambil bagian orang lain dengan cara menipu,
mencurangi dan dengan paksa seperti pemerasan.
2.
Kebahagiaan
dalam bekerja: menikmati jerih payah sendiri (Mazmur 128:2)
Untuk menjelaskan bagian ini
saya coba angka dua cerita: kisah petani yang tak menikmati jerih payahnya.
Kisah - 1: Kisah Petani Cabe
Seorang
petani pernah mengalami hal ini, marilah kita sebut Pak Tani. Dia menanam cabe
sekitar 5.000,- batang. Dia kerjakan seluruh proses menanam cabe ini dengan
baik, mulai dari pemilihan bibit, pembibitan, pengolahan tanah, menanam,
memupuk, merawat tanaman, semprot hama dan seterusnya. Dia memiliki semangat
yang luar biasa dan cabenya cukup bagus hingga panen. Berhasil memang panen
namun apa yang terjadi ketika dia membawa cabenya ke Pasar, harga cabe turun Rp
5.000. Minggu pertama dia sabar diaberharap harga cabe minggu depan naik, namun
harga cabe tetap tak naik-naik hingga panen cabenya berakhir. Dia berhasil
memanen cabe namun tak menikmati harga cabe, malah dia rugi besar karena biaya
yang dikeluarkan selama ini. Pertanyaan: siapakah yang menikmati jerih payah
Pak Petani Cabe yang ini?
Kisah-2: Petani Durian
Di
Desa Bakal, setiap bulan Desember tingkat kesibukan jemaat tergolong tinggi
karena di situ panen durian. Mereka menjaga duriannya siang dan malam, mereka
berselimutkan embun dan tidur di ladang mereka, menahan ras dingin dan kadang
hujan. Tidak sedikit orang yang batuk-batuk dan meriang demam selama musim
panen durian. Apa yang terjadi durian mereka dibeli oleh kolekter dengan harga
yang sangat murah. Jika buah durian melimpah kadang duriannya tidak diangkut
oleh kolekter, maka mereka takut untuk tidak laku dengan pasrah melepaskan
durian mereka dengan harga yang sangat murah. Rp.3.000,- satu angkat bisa
dimendan menjadi Rp.25.000-30.000,- petani durian tinggal capenya, kolektor dan
toke lainnya dapat bangun rumah atau beli mobil sekali panen durian.
Kedua
kisah di atas merupakan contoh bahwa dalam dunia kerja sangat banyak orang
tidak menikmati hasil pekerjaannya, melainkan dinikmati oleh pihal lain. Ini
suatu kesedihan dalam realitas hidup. Renungan dari Mazmur 128: 2 ini
memperlihatkan kebahagiaan dalam bekerja adalah menikmati jerih payahnya
sendiri. Dengan berpedoman dari Maz 128 ini sebenarnya harus memberikan porsi
yang lebih tepat bagi masing-masing pihak yang berperan dalam dunia bisnis.
Secara
personal Mazmur 128 ini menanamkan kebahagiaan sejajar dengan Amsal sebagaimana
dijelaskan di atas. Menanamkan konsep kebahagiaan dalam bekerja sebagai hasil
jerih dan juang sendiri dan sekaligus pakem bagi diri sendiri untuk memberikan
dan menghargai nilai ekonomis bagi setiap orang yang berlelah sesuai dengan
produktifitas masing-masing.
Tentu
banyak indikator kebahagiaan dalam diri seesorang dalam menilai pekerjaan:
kesuksesan menduduki posisi yang bagus, menjadi juara, karyawan terbaik dan
sejumlah award. Keadaan yang baik dalam suasana bekerja adalah ketikan
pembagian keuntungan ekonomi didasarkan pada usaha, bukan akibat gratifikasi
atau ekspolitasi atau atas nama kekuasaan.
3.
Belajar
Mencukupkan Diri (Filipi 4:11-13)
Kukatakan
ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam
segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan.
Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan
rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam
hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di
dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.
Pada
bagian yang terakhir ini, budaya kerja yang dikemukakan oleh Paulus sangat baik
untuk diterapkan, yaitu: belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Paulus
menyadarkan pasang surut kehidupan. Pengalamannya sendiri adalah bagian yang
cukup menarik, ketika berkelimpahan tidak dihambur-hamburkan, ketika
berkekurangan tidak bersungut-sungut dan menyesali realitas kekurangan. Ini
pelajaran yang sangat berharga dalam dunia kerja: ada orang ketika memiliki
kelimpahan hidup berfoya-foya dan menyianyiakannya. Ketika kelimpahan berlalu
dan kemiskinanpun tiba, maka sulit menjalani dan menerima realitas hidup –
menyesali masa lalu. Demikian sebaliknya, nats ini memotivasi dalam situasi
sulit dan kekurangan, jangan sesali dan kutuki kesulitan tapi menghadapi dan
menjalaninya di dalam suatu iman dan pengharapan. Dua kemungkinan dalam hidup
ini, berkekurangan dan berkelimpahan bisa saja terjadi, namun dalam semua
keadaan tawaran belajar mencukupkan diri merupakan budaya kerja yang Kristiani.
Belajar
mencukupkan diri dalam keadaan berkelimpahan merupakan hidup yang berkarakter.
Memang bagi sebahagian orang tidak bisa dipungkiri atas pengaruh budaya populer
orang semakin digiring dengan gaya hidup tertentu. Keadaan ekonomi tertentu
mendorong orang untuk melakoni gaya hidup sesuai dengan taraf ekonominya.
Belajar mencukupkan diri, mendorong orang memiliki karakter yang melakoni gaya
hidup yang cukup, tidak berlebihan dan menahan diri atas segala godaan budaya
hidup yang hedonistik.
Belajar
mencukupkan diri dalam keadaan berkekurangan adalah hidup dalam ketabahan.
Ketabahan suatu kata yang berpadanan dengan berpengharapan, kesulitan adalah
tantangan, tantangan yang mesti dihadapi dan dijalani. Paulus menunjukkan bahwa
kekuatan dalam menjalani keadaan berkekurangan adalah Kristus sendiri. Tidak
ada kekuatan lain dalam diri orang percaya menjalani kesulitan kecuali iman itu
sendiri.
Dengan
konsep belajar mencukupkan diri tentu terbentuk pribadi yang menjunjung nilai
kerja, dapat menahan diri dari godaan untuk mengambil bagian orang lain. Tidak
mudah terpancing akan kemewahan hidup yang ditawarkan oleh budaya pop, tetapi
tetap di dalam kendali penguasaan diri akan kemampuan ekonomi dan memepertajam
pembelanjaan hidup berorientasi kebutuhan yang lebih utama. Belajar mencukupkan
diri dalam berkelimpahan dan berkekurangan sebagaimana dikemukakan oleh Paulus
ini dapat juga dipelajari dari kisah Yusuf di Mesir. Yusuf seorang tehnokrat
yang baik mengelola kelimpahan 7 tahun berturut-turut mengatasi 7 tahun masa bekerkurangan.
Belajar
mencukupkan diri adalah budaya kerja yang mesti dikembangkan dengan menolak segala
bentuk kehidupan yang menghambur-hamburkan kelimpahannya kepada hal-hal yang
tidak berguna. Mendorong dan memotivasi orang yang menghadapi keadaan sulit
dengan berbagai usaha untuk mengatasi masa sulit.
Penutup
Kerja adalah mandat Ilahi yang diterima manusia
sejak penciptaan. Mandat itu berupa budaya kerja manusia yang meniru Allah yang
adalah tetap bekerja. Mandat ilahi yang diterima manusia dalam bentuk imperatif
konstruktif untuk memenuhi bumi, menguasai dan memelihara alam yang diciptakan oleh
Allah baik adanya. Dengan mandat ini manusia mesti bekerja untuk memenuhi
hidupnya dan menolong orang lain baik oleh karena jasa maupun tanpa imbalan.
Tantangan dalam bekerja adalah kemalasan dan
korupsi. Kemalasan merupakan lawan dari budaya kerja, di dalam kemalasan orang
dibius untuk tidak melakukan apa-apa dan tak menghasilkan apa-apa. Ini
bertentangan dengan budaya kerja yang menerima imperatif untuk berkarya dan
menghasilkan sesuatu. Korupsi sebagai tantangan dengan budaya kerja karena
sifatnya yang merusak, mementingkan kepentingan sendiri, bentuk pengambilalihan
milik bersama menjadi milik pribadi, menyengsarakan orang banyak dan sifatnya
yang destruktif. Korupsi adalah kejahatan kemanusiaan. Hal ini berlawanan
dengan kreatio. Di dalam kreatio orang menerima mandat untuk berkarya dan
berproduksi, sedangkan korupsi kebalikannya yang merusak dan mengubah yang baik
menjadi rusak.
Alkitab menawarkan budaya kerja yang anti malas dan
anti korupsi. Alkitab mengajarkan nilai kerja yang adil, mendorong budaya kerja
yang produktif dan berbagai hikmat yang dapat dipedomani dalam bekerja dengan
belajar mencukupkan diri serta menikmati yang menjadi bagian dari hasil jerih
payah sendiri serta. Tugas utama orang percaya adalah menginternalisasikan
budaya kerja menjadi milik sendiri sebagaimana ditawarkan Alkitab. Mari
implementasikan budaya kerja yang kristiani yang anti korup dalam hidup sehari
hari.
Harapan penulis adalah pembaca dapat mewujudkan
budaya kerja yang lebih Kristiani dalam lingkungan pelayanan gereja,
masyarakat, swasta dan pemerintah.
Pearaja, Februari 2014
Pdt. Nekson M Simanjuntak, MTh
Kepala Biro Pembinaan HKBP, Kantor Pusat, Pearaja -
Tarutung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar