Minggu, 21 September 2014

KERJA ADALAH MANDAT ILAHI

menginternalisasikan budaya kerja yang anti korup

Oleh Pdt. Nekson M Simanjuntak, MTh*



Pendahuluan
Kerja bagi seorang pelayan Tuhan adalah ibadah, kerja adalah panggilan yang dilakukan dengan penuh tanggungjawab. Kerja bukanlah cara untuk mendapat jasa atau fulus semata tetapi di dalamnya suatu amanat yang mesti dilakukan demi kemuliaan Tuhan. Dalam pelayanan betul banyak hal sulit bisa terjadi bahkan terkadang terhimpit, namun pelayanan yang tulus akan menghasilkan buah yang mulus itulah yang mesti dimiliki oleh seorang hamba Tuhan dalam pelayanan.

Berangkat dari keprihatinan budaya korupsi Indonesia, penulis mencoba membuka wacana bekerja sebagai mandat ilahi dengan tujuan mencari alternatif melewati dua tantangan terbesar dalam bekerja, yaitu: kemalasan dan korupsi. Dengan menekankan pengertian bekerja sebagai mandat maka tugas berikutnya adalah menginternalisasikan budaya kerja yang bertanggungjawab. Dengan pandangan demikian dua tantangan bekerja yaitu kemalasan dan korupsi dapat teratasi. Hal ini penting karena kemalasan membuat orang tetap berpangku tangan, cepat menjawab dengan dalih ada kesilutan sana-sini untuk melegitimasi dirinya tidak berbuat dan melakukan apa-apa. Demikian halnya korupsi sebagai tantangan besar dalam bekerja; di dalam bekerja akan selalu terbuka ruang untuk korup apalagi dengan jabatan yang dimahkotai berbagai otoritas dan kuasa. Hal ini yang sering dikemukakan lewat ungkapan: power tent to corrupt. Di sini penulis mengajak pembaca untuk secara bersama-sama membahasakan korupsi merupakan lawan dari pada kreatio dalam teologi penciptaan. Dalam teologi penciptaan manusia memperoleh mandat untuk bekerja dan berkarya; menguasai dan memelihara alam yang baik untuk memenuhi hidup. Pada bagian amanat ini manusia juga memperoleh mandat untuk melawan dan memerangi korupsi, karena korupsi ibarat virus yang merusak tatanan baik. Pandangan theologi demikian perlu dikembangkan untuk menginternalisasikan budaya kerja yang anti korup.

Bekerja adalah mandat ilahi ini penting sebagaimana dikemukakan oleh Dietrich Boenhoeffer pekerjaan murid adalah mandatoris, murid tidak bisa bekerja diluar mandatoris yang diterimanya. Kalau misalnya semua memahami dan menerima bahwa tugas anti korup adalah mandatoris dari Allah dunia kerja akan menuju ke arah yang lebih baik. Hal inilah yang menjadi proposal penulis dalam artikel ini agar dunia pelayanan gereja menerima mandat budaya kerja yang anti korup.

Bekerja adalah mandat bukan hukuman
Penulis lahir di pedesaan dan berkesempatan melayani beberapa kali di pedesaaan yaitu di Laguboti dan di Ressort Parpulungan Nauli. Tidak jarang ungkapan dikalangan jemaat terdengar keluh anggota jemaat yang diungkapkan begini: “aut sura so mardosa si Adam dohot si Hawa ndang marhoihoi songon on” (Seandainya Adam dan Hawa tidak jatuh dalam dosa, kita tidak mengalami lelah begini). Pandangan seperti ini juga muncul ketika pernah melayani di Jakarta dan di Surabaya dalam berbagai diskusi ada pemahaman bahwa manusia bekerja karena dosa Adam. Seandainya Adam tak berdosa manusai hanya menikmati kehidupan dalam firdaus. Ini berarti pada umumnya jemaat baik di desa maupun di kota pandangan bekerja adalah hukuman melekat di jemaat. Manusia bekerja dipahami sebagai akibat dosa, apalagi pekerjaan itu adalah pekerja berat dan melelahkan.

Kerja sebagai hukuman ini didasarkan pada pemahaman bahwa di dalam ‘firdaus’ manusia tidak bekerja hanya tinggal menikmati karya Allah di Taman Eden. Manusia bekerja dianggap sebagai kutuk atau hukuman yang temurun kepada generasi Adam berikutnya atau dosa warisan. Pandangan semacam ini sangat mudah dilegitimasi sebagaimana digambarkan dalam Kejadian 3:17-19. “...dengan bersusah payahlah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpelh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” Ayat inilah yang sering dipahami bahwa bekerja adalah hukuman. Manusia berpeluh dan bersusah payah mencari nafkah sebagai hukuman. Betul bahwa dalam perikop ini dinyatakan hukuman, namun hukuman dimaksud adalah sebagai konskwensi pelanggaran. Perikop ini sesungguhnya lebih jauh mau menjelaskan akan konsekwensi dosa, yaitu maut atau kematian (Band Rom 6:23). Akibat pelanggaran manusia keluar dari kekekalan memasuki dunia yang fana yang akan berlalu. Konsekwensi pelanggaran ini diterima oleh manusia sebagai akibat pelanggaran atas perintah Allah. Jadi dapat kita katakan Kejadian 3 mau menjelaskan pada konsekwensi pelanggaran, bukan mau menjelaskan tentang pekerjaan manusia. Manusia bekerja sebenarnya ditemukan pada teologi penciptaan.

Manusia bekerja secara eksplisit sesungguhnya dapat dilihat pada kisah penciptaan, di mana manusia yang segambar dengan Allah diberi mandat yaitu memperoleh tugas untuk bekerja. Ini yang diperlihatkan dalam Kej 1: 27-28 dikatakan: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan tahlukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Dengan nats ini sesungguhnya manusia bekerja bukanlah sebagai konsekwensi dosa, melainkan sebagai mandat yang diterima sejak penciptaan. Sungguh sangat jelas bahwa manusia yang diciptakan segambar dengan Allah itu memperoleh mandat.  Mandat dimaksud adalah tugas dan tanggungjawab memenuhi bumi dan menahlukkannya. Disini ada unsur berprokreasi dan berkreasi. Prokreasi tugas manusia memenuhi bumi (berketurunan) dan tugas berkreasi manusia bekerja meniru dan meneladani Allah yang bekerja. Jika Allah mencipta dari yang tidak ada menjadi ada, maka dalam mandat ini manusia diberi tugas untuk berkreasi mengelola alam untuk memenuhi hidupnya serta menolong dan menopang kehidupan umat manusia. Menguasai alam tentu bukan dipahami sebagai legitimasi untuk mengeruk kekayaan alam dalam bentuk yang destruktif tetapi imperatif didalamnya memelihara dan melestarikan alam. Di dalam mandat ini ada imperatif untuk mengelola alam ciptaan yang diciptakan baik adanya agar tetap baik. Inilah imperatif bagi manusia yang disebut sebagai mandat ilahi. (Band. Dietrich Boenhoffer, Ethic, 1966)

Dengan demikian arti bekerja dapat disimpulkan bahwa bekerja bukanlah hukuman melainkan sebagai mandat Allah bagi manusia untuk mengelola alam demi memenuhi kebutuhan umat manusia.  Kesimpulan demikian juga memberi tugas secara eksplisit bahwa manusia harus menolak segala bentuk eksploitasi alam dan penemuan tehnologi yang merusak alam dan mengancam kehidupan segala makhluk.

Bekerja: jalan memperoleh berkat
Berangkat dari pemahaman kerja sebagai mandat ilahi maka kerja dapat diartikan sebagai segala bentuk usaha atau aktifitas manusia yang sditerima dari Allah untuk memenuhi kebutuhnnya, menolong  sesama dan memelihara alam. Hal ini dapat dibandingkan dengan defenisi kerja menurut M.D Gelhard yang mengatakan bahwa “bekerja sebagai investasi energi seseorang dalam rangka menguasai alam dan melayani orang lain.”  atau pendapat Paul R. Stevens mengatakan bekerja adalah kegiatan bertujuan yang melibatkan energi mental, emosional atau fisikal atau ketiganya dengan dibayar atau tidak.” (Lihat dalam Jansen Sinamo, Teologi Kerja Modern, 2013; 12). Dari kedua defenisi tersebut saling terkait bahwa bekerja adalah segala aktifitas manusia  memenuhi hidupnya atau untuk menolong orang lain, baik karena memperoleh imbalan atau tidak. Berkaitan dengan imbalan disini penting dimaknai sebagai legitimasi bagi manusia untuk memperoleh berkat. Allah telah memberkati alam dan ciptaan sehingga tersedianya kebutuhan manusia. Dilihat pada pihak manusia, Allah memperlengkapi manusia; tubuh, indera, kekuataan fisik dan diberi akal dan pikiran untuk dapat dipergunakan memperoleh berkat yang tersedia dan disedikan Allah dalam ciptaan. Korrelasi manusia dengan berkat yang tersedia dalam alam ciptaan yang demikian dapat kita sebutkan bahwa bekerja adalah jalan yang sah untuk memperoleh berkat.

Mendalami pemahaman kerja yng demikian sejalan dengan penjelasan Alkitab yang mengatakan: “jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” (2 Tes 3:10,  “Na so ra mangula, unang ma ibana mangan”). Suatu penegasan tentang pentingnya dipahami bahwa hanya dengan bekerja orang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Bekerja sebagai cara yang sah untuk memperoleh berkat. Hal ini dapat kita bandingkan dengan M. Ghandi yang mengatakan bahwa “salah satu dosa besar manusia adalah memperoleh kekayaan tanpa bekerja”. M. Ghandi mengungkapkan demikian tentu mendorong usaha dan kerja keras manusia. Tidak ada pencapaian kesuksesan tanpa ada kerja keras, jika sukses namun tak bekerja itu adalah dosa. Pandangan semacam ini memerangi pikiran malas dan sekaligus memerangi nafsu manusia yang ingin memperoleh kekayaan dengan jalan pintas. Hal kedua yang ditentang M. Ghandi memunculkan pandangan itu melawan sikap fatalisme, dalam fatalisme manusia dianggap sudah ditakdirkan menerima nasib yang sulit diubah. Bagi Ghandi kerja keras dapat mengubah kemiskinan, namun kekayaan tanpa bekerja adalah dosa.Pentingnya pandangan Ghandi ini Stephen R Covey yang tekenal dengan gagasan Sevent Habits dalam leadership menekankan budaya kerja yang demikian menjadi syarat mutlak menjadi pemimpin yang berprinsip.

Maka tugas manusia mesti mewaspadai segala bentuk yang menghambat orang untuk tidak bekerja. Salah satu hal yang di soroti kitab Amsal adalah malas, malas menghambat orang menerima berkat bahkan menjadikan miskin. Lihatlah misalnya pesan Salomo dalam Amsal 6:4-10 mengatakan:
“Janganlah membiarkan matamu tidur, dan kelopak matamu mengantuk. Lepaskanlah dirimu seperti kijang dari pada tangkapan, seperti burung dari pada tangan pemikat.
Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanan pada waktu panen.
Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi untuk tinggal berbaring, maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.”

Tantangan dalam bekerja; kreatio versus korupsi
Salah satu tantangan terberat dalam budaya bekerja adalah korupsi. Korupsi diterjemahkan dari kata “corruption” suatu kata Latin kuno yaitu “corrumpere” suatu kata yang memiliki arti luas namun menjelaskan suatu keadaan baik berubah menjadi buruk dan bersifat negatif. Tentu banyak definisi yang dapat kita jadikan sebagai referensi arti kata korupsi yang pada intinya adalah bentuk kejahatan.
-          KUBI  (Kamus Umum Besar Indonesia) mendefenisikan bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerima uang sogok dan sebagainya.
-          Lexicon Webster Dictionary: “The act of corrupting, or the state of being corrupt; purefactive composition, putrid matter; moral perversion; depravity, pervesion of integrity, corrupt or dishonest proceeding, bribery, pervesion from a state of purity, debasement, as of languange; a debased from a word.
-          World Bank: “an abuse of entrused power by politicians of civil servant for personal gain.”
Tentu banyak lagi defenisi yang dapat kita kutip sebagai arti korupsi baik bentuk korupsi dan defenisi dari berbagai professi dan jenisnya seperti: hukum, politisi, sosiologi, dll. Namun arti korupsi pada intinya adalah sifat yang merusak atau destruktif. Korupsi adalah segala bentuk pengrusakan tatanan yang baik, pengambilalihan milik bersama menjadi miliki pribadi dan penggelapan. Artinya korupsi tetap sifatnya yang destruktif dan merusak. Korupsi adalah kejahatan yang mesti diberantas dan diperangi.

Dengan pandangan demikian maka korupsi ini kontras dengan creatio atau penciptaan.  Jika dalam creatio orang bekerja untuk menguasai dan memelihara karya Allah yang baik adanya, dan berkreasi meneladani Allah yang bekerja menghasilkan kebaikan maka korupsi adalah kebalikannya.  Korupsi adalah segala tindakan yang merusak yang baik dan upaya untuk menghilangkan atau menggelapkan yang ada menjadi tak ada. Korupsi adalah berangsurnya yang ada menjadi hilang dan menguap baik secara cepat ataupun perlahan. Pandangan semacam ini perlu dikembangkan untuk mempertajam makna theologis menentang korupsi. Alkitab mengajarkan bahwa manusia memperoleh mandat untuk bekerja dan bekreasi. Allah memperlengkapi manusia dengan akal dan pikiran untuk bekerja dan berkarya sebagai mandat Ilahi. Maka hal yang sama manusia harus memahami pula bahwa melawan dan memberantas korupsi adalah merupakan mandat ilahi karena korupsi adalah kejahatan dan musuh besar dari budaya kerja manusia.

Refleksi Teologis: menginternalisasikan budaya kerja yang anti korupsi
Di atas sudah ditunjukkan bahwa bekerja adalah mandat ilahi, kemalasan dan korupsi adalah tantangan dalam bekerja dengan demikian korupsi adalah bertentangan dengan budaya kerja sejak penciptaan, maka tugas berikutnya adalah mencoba membuat refleksi teologis dengan mengembangkan budaya anti korupsi dari tiga nats yang sengaja dipilih, yaitu; Amsal 30:7-9, Mazmur 128:1-2, dan Fil 4:11-13.  Tentu masih banyak ayat alkitab yang dapat dikembangkan, namun ketiga hal ini sangat menarik untuk mendorong budaya kerja yang anti korup.

1.       Hikmat Dalam Bekerja Mendalami Amsal 30:7-9:
Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan itu Kautolak sebelum aku mati, yakni:
Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku.
Teks ini merupakan hikmat yang sangat besar untuk diteladani dalam budaya kerja. Teks berbentuk doa permohonan hikmat kepada Allah dalam bekerja atau menjalani hidup. Jika diurai sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga poin, yaitu:
a.      Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan
Ini budaya kerja yang berkarakter – jujur dalam mencapai sesuatu. Dalam melakukan aktifitas sehari-hari tentu banyak godaan untuk melakukan berbagai cara yang tidak sehat untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya, atau pada sisi lain orang bisa menghindari dari beban sehingga berbohong dan menipu diri sendiri. Ini suatu fakta yang sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan doa dokmat ini yang mengatakan jauhkanlah kecurangan dan kebohongan mempertajam makna hakiki dalam mencapai dan menggapai suatu prestasi. Amsal ini mengingatkan untuk apa orang mendapat medali atau piala namun dengan mencurangi orang lain. Memang, piala bagi banyak orang adalah tujuan, sehingga dengan cara apapun orang lakukan untuk memperolehnya, namun Amsal ini memberikan makna yang dalam bahwa kebahagiaan tertinggi adalah memiliki budaya kerja melalui kerja keras dan jerih juah yang jujur, bersih dari kecurangan dan kebohongan.
b.      Jangan berikan kemiskinan atau kekayaan
Pada umumnya setiap bercita-cita menjadi kaya, hal itu adalah manusiawi, namun kenyataannya tak semua orang menjadi kaya. Hal yang sama tentu sependapat dengan Amsal ini menolak kemiskinan. Hal itu juga manusiawi namun kenyataannya kemiskinan tetap ada (Band. Mat 26:11). Apa arti kedua realitas kehidupan manusia ini yang diangkat oleh kitab Amsal disini. Pertama, permohonan ini sebenarnya bisa dipahami bahwa keduanya bukanlah pilihan namun merupakan otoritas pemberian Allah.  Kedua, Amsal ini menunjukkan dampak dari keduanya pada diri manusia, yaitu: di dalam kekayaan  melekat hubris atau kesombongan. Dengan kekayaan dan seluruh yang ada pada dirinya manusia bisa sombong – ini adalah manusia hubris. Manusia hubris akhirnya akan bisa menggugat eksistensinya dihadapan pencipta dan bisa lupa bahwa segala sesuatu adalah pemberian Allah. Disini ada pesan menarik untuk tetap mewaspadai hubris dibalik semua keberhasilan dan kesuksesan. Hal yang sama di dalam kemiskinan ada pula ancaman, kesadaran akan lemahnya pribadi melawan kegetiran hidup dalam kemiskinan bisa saja menjadi alasan untuk melakukan kejahatan demi memenuhi hidup. Tidak sedikit orang membenarkan mencuri demi alasan perut, yang sekalipun itu mesti tidak bisa dibenarkan. Hal inilah yang mau ditunjukkan oleh Amsal ini, hubris dan dosa di dalam keduanya mesti dihindari, namun bukan berarti menjadi kaya menjadi sombong dan miskin menjadi jahat. Amsal ini mendorong dan menawarkan bagaimana orang hidup di dalam kedua realitas ini dengan didasarkan pada menikmati bagian masing-masing. Ketiga, bukan suatu kemunafikan atau kenaifan kedua permohonan ini melainkan suatu kesadaran diri. Menyadari ketidak mampuan hidup di dalam kedua realitas ini adalah mendorong orang berhikmat dalam bekerja. Hal ini ditemukan dalam kedua alasan berikut: “Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku.”  
Suatu kesadaran yang mendalam sisi lain dari realitas kaya dan miskin. Dr. Ulrich Beyer kedua realitas ini membutuhkan suatu keseimbangan, sehingga orang yang berkecukupan dapat membantu saudaranya yang miskin, menahan diri untuk belanja yang secukupnya, dan agar tidak membuang-buang makanan (Ulrich Beyer, Kaya dan Miskin, 2013)
c.       Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku.
Inilah budaya kerja yang sangat baik untuk diterapkan dengan menerapkan budaya kerja yang fairly. Menanamkan nilai kerja pada diri sendiri untuk tidak mengambil yang menjadi bagian orang lain. Cukup tragis jika orang hak kita dimbil orang lain, maka hal yang sama berikanlah orang lain menikmati yang menjadi hak atau bagiannya. Untuk menggambarkan ini cukup sederhana, seorang ibu membeli satu kue dan memotong kue tersebut sejumlah anggota keluarga, semua orang mendapatkan satu potongan. Jika ada orang yang mengambil dua potong maka akan sendirinya akan ada konflik karena tidak dapat jatah. Adalah tidak adil jika ada orang dua potong mengambil bagian dari saudaranya. Pesan dari sini ambillah potongan yang disediakan menjadi bagian kita.

Dalam dunia kerja sebenarnya analogi semacam ini perlu diterapkan dengan menghitung tanggungjawab dan jasa yang mesti dibayarkan sebagai upah sesuai dengan pembagiannya. Pesan ini mendorong dunia kerja yang lebih adil.  Sungguh sangat tragis kalau suatu perusahaan memperoleh keuntungan yang sangat besar namun karyawan tidak menikmati keuntungan perusahaan, mereka hidup pas-pasan, berpeluh dan tenaga mereka terkuras dengan upah yang tak wajar. Selain mendorong budaya kerja yang berkeadilan pesan nats ini juga menempa budaya kerja yang menanamkan nilai keadilan pada diri sendiri sekaligus karakter pekerja jujur. Pekerja yang memiliki komitment untuk tidak menikmati hasil pekerjaan orang lain menjadi milik sendiri. Baiklah masing-masing menikmati yang menjadi bagiannya, itu akan lebih baik karena bebas dari penipuan dan pemerasan dan pemaksaan. Orang takut memulai usaha karena takut ditipu, orang malas bekerja karena ada pemerasan, orang takut membuka dunia usaha karena resiko sana-sini.

Biarkanlah aku menikmati yang menjadi bagianku! suatu permohonan dalam dunia kerja agar terbebas dari pemerasan dan terbebas dari penipuan. Selain itu menanamkan nilai-nilai pada diri sendiri dengan suatu komitment tak akan mengambil bagian orang lain dengan cara menipu, mencurangi dan dengan paksa seperti pemerasan.

2.       Kebahagiaan dalam bekerja: menikmati jerih payah sendiri (Mazmur 128:2)
Untuk menjelaskan bagian ini saya coba angka dua cerita: kisah petani yang tak menikmati jerih payahnya.

Kisah - 1: Kisah Petani Cabe
Seorang petani pernah mengalami hal ini, marilah kita sebut Pak Tani. Dia menanam cabe sekitar 5.000,- batang. Dia kerjakan seluruh proses menanam cabe ini dengan baik, mulai dari pemilihan bibit, pembibitan, pengolahan tanah, menanam, memupuk, merawat tanaman, semprot hama dan seterusnya. Dia memiliki semangat yang luar biasa dan cabenya cukup bagus hingga panen. Berhasil memang panen namun apa yang terjadi ketika dia membawa cabenya ke Pasar, harga cabe turun Rp 5.000. Minggu pertama dia sabar diaberharap harga cabe minggu depan naik, namun harga cabe tetap tak naik-naik hingga panen cabenya berakhir. Dia berhasil memanen cabe namun tak menikmati harga cabe, malah dia rugi besar karena biaya yang dikeluarkan selama ini. Pertanyaan: siapakah yang menikmati jerih payah Pak Petani Cabe yang ini?

Kisah-2: Petani Durian
Di Desa Bakal, setiap bulan Desember tingkat kesibukan jemaat tergolong tinggi karena di situ panen durian. Mereka menjaga duriannya siang dan malam, mereka berselimutkan embun dan tidur di ladang mereka, menahan ras dingin dan kadang hujan. Tidak sedikit orang yang batuk-batuk dan meriang demam selama musim panen durian. Apa yang terjadi durian mereka dibeli oleh kolekter dengan harga yang sangat murah. Jika buah durian melimpah kadang duriannya tidak diangkut oleh kolekter, maka mereka takut untuk tidak laku dengan pasrah melepaskan durian mereka dengan harga yang sangat murah. Rp.3.000,- satu angkat bisa dimendan menjadi Rp.25.000-30.000,- petani durian tinggal capenya, kolektor dan toke lainnya dapat bangun rumah atau beli mobil sekali panen durian.

Kedua kisah di atas merupakan contoh bahwa dalam dunia kerja sangat banyak orang tidak menikmati hasil pekerjaannya, melainkan dinikmati oleh pihal lain. Ini suatu kesedihan dalam realitas hidup. Renungan dari Mazmur 128: 2 ini memperlihatkan kebahagiaan dalam bekerja adalah menikmati jerih payahnya sendiri. Dengan berpedoman dari Maz 128 ini sebenarnya harus memberikan porsi yang lebih tepat bagi masing-masing pihak yang berperan dalam dunia bisnis.

Secara personal Mazmur 128 ini menanamkan kebahagiaan sejajar dengan Amsal sebagaimana dijelaskan di atas. Menanamkan konsep kebahagiaan dalam bekerja sebagai hasil jerih dan juang sendiri dan sekaligus pakem bagi diri sendiri untuk memberikan dan menghargai nilai ekonomis bagi setiap orang yang berlelah sesuai dengan produktifitas masing-masing.

Tentu banyak indikator kebahagiaan dalam diri seesorang dalam menilai pekerjaan: kesuksesan menduduki posisi yang bagus, menjadi juara, karyawan terbaik dan sejumlah award. Keadaan yang baik dalam suasana bekerja adalah ketikan pembagian keuntungan ekonomi didasarkan pada usaha, bukan akibat gratifikasi atau ekspolitasi atau atas nama kekuasaan.

3.       Belajar Mencukupkan Diri (Filipi 4:11-13)
Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.

Pada bagian yang terakhir ini, budaya kerja yang dikemukakan oleh Paulus sangat baik untuk diterapkan, yaitu: belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Paulus menyadarkan pasang surut kehidupan. Pengalamannya sendiri adalah bagian yang cukup menarik, ketika berkelimpahan tidak dihambur-hamburkan, ketika berkekurangan tidak bersungut-sungut dan menyesali realitas kekurangan. Ini pelajaran yang sangat berharga dalam dunia kerja: ada orang ketika memiliki kelimpahan hidup berfoya-foya dan menyianyiakannya. Ketika kelimpahan berlalu dan kemiskinanpun tiba, maka sulit menjalani dan menerima realitas hidup – menyesali masa lalu. Demikian sebaliknya, nats ini memotivasi dalam situasi sulit dan kekurangan, jangan sesali dan kutuki kesulitan tapi menghadapi dan menjalaninya di dalam suatu iman dan pengharapan. Dua kemungkinan dalam hidup ini, berkekurangan dan berkelimpahan bisa saja terjadi, namun dalam semua keadaan tawaran belajar mencukupkan diri merupakan budaya kerja yang Kristiani.

Belajar mencukupkan diri dalam keadaan berkelimpahan merupakan hidup yang berkarakter. Memang bagi sebahagian orang tidak bisa dipungkiri atas pengaruh budaya populer orang semakin digiring dengan gaya hidup tertentu. Keadaan ekonomi tertentu mendorong orang untuk melakoni gaya hidup sesuai dengan taraf ekonominya. Belajar mencukupkan diri, mendorong orang memiliki karakter yang melakoni gaya hidup yang cukup, tidak berlebihan dan menahan diri atas segala godaan budaya hidup yang hedonistik.

Belajar mencukupkan diri dalam keadaan berkekurangan adalah hidup dalam ketabahan. Ketabahan suatu kata yang berpadanan dengan berpengharapan, kesulitan adalah tantangan, tantangan yang mesti dihadapi dan dijalani. Paulus menunjukkan bahwa kekuatan dalam menjalani keadaan berkekurangan adalah Kristus sendiri. Tidak ada kekuatan lain dalam diri orang percaya menjalani kesulitan kecuali iman itu sendiri.

Dengan konsep belajar mencukupkan diri tentu terbentuk pribadi yang menjunjung nilai kerja, dapat menahan diri dari godaan untuk mengambil bagian orang lain. Tidak mudah terpancing akan kemewahan hidup yang ditawarkan oleh budaya pop, tetapi tetap di dalam kendali penguasaan diri akan kemampuan ekonomi dan memepertajam pembelanjaan hidup berorientasi kebutuhan yang lebih utama. Belajar mencukupkan diri dalam berkelimpahan dan berkekurangan sebagaimana dikemukakan oleh Paulus ini dapat juga dipelajari dari kisah Yusuf di Mesir. Yusuf seorang tehnokrat yang baik mengelola kelimpahan 7 tahun berturut-turut mengatasi 7 tahun masa bekerkurangan.

Belajar mencukupkan diri adalah budaya kerja yang mesti dikembangkan dengan menolak segala bentuk kehidupan yang menghambur-hamburkan kelimpahannya kepada hal-hal yang tidak berguna. Mendorong dan memotivasi orang yang menghadapi keadaan sulit dengan berbagai usaha untuk mengatasi masa sulit.

Penutup
Kerja adalah mandat Ilahi yang diterima manusia sejak penciptaan. Mandat itu berupa budaya kerja manusia yang meniru Allah yang adalah tetap bekerja. Mandat ilahi yang diterima manusia dalam bentuk imperatif konstruktif untuk memenuhi bumi, menguasai dan memelihara alam yang diciptakan oleh Allah baik adanya. Dengan mandat ini manusia mesti bekerja untuk memenuhi hidupnya dan menolong orang lain baik oleh karena jasa maupun tanpa imbalan.

Tantangan dalam bekerja adalah kemalasan dan korupsi. Kemalasan merupakan lawan dari budaya kerja, di dalam kemalasan orang dibius untuk tidak melakukan apa-apa dan tak menghasilkan apa-apa. Ini bertentangan dengan budaya kerja yang menerima imperatif untuk berkarya dan menghasilkan sesuatu. Korupsi sebagai tantangan dengan budaya kerja karena sifatnya yang merusak, mementingkan kepentingan sendiri, bentuk pengambilalihan milik bersama menjadi milik pribadi, menyengsarakan orang banyak dan sifatnya yang destruktif. Korupsi adalah kejahatan kemanusiaan. Hal ini berlawanan dengan kreatio. Di dalam kreatio orang menerima mandat untuk berkarya dan berproduksi, sedangkan korupsi kebalikannya yang merusak dan mengubah yang baik menjadi rusak.

Alkitab menawarkan budaya kerja yang anti malas dan anti korupsi. Alkitab mengajarkan nilai kerja yang adil, mendorong budaya kerja yang produktif dan berbagai hikmat yang dapat dipedomani dalam bekerja dengan belajar mencukupkan diri serta menikmati yang menjadi bagian dari hasil jerih payah sendiri serta. Tugas utama orang percaya adalah menginternalisasikan budaya kerja menjadi milik sendiri sebagaimana ditawarkan Alkitab. Mari implementasikan budaya kerja yang kristiani yang anti korup dalam hidup sehari hari.

Harapan penulis adalah pembaca dapat mewujudkan budaya kerja yang lebih Kristiani dalam lingkungan pelayanan gereja, masyarakat, swasta dan pemerintah.  


Pearaja, Februari 2014
Pdt. Nekson M Simanjuntak, MTh
Kepala Biro Pembinaan HKBP, Kantor Pusat, Pearaja - Tarutung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENGUCAP SYUKUR ATAS KASIH KARUNIA TUHAN

 Kotbah Minggu Setelah Natal MINGGU, 29 Desember 2024 Ev. 1 Timotius 1:12-17 MENGUCAP SYUKUS ATAS KASIH KARUNIA TUHAN Selamat Hari Minggu! M...