ISSU BEGU GANJANG DAN KETANGGAPAN PELAYAN
GEREJA
Oleh: Nekson M Simanjuntak
Photo: Pdt Renova Sitorus berkordinasi dengan pemuka agama dan aparatur
mendiskusikan langkah antisipatif tanggkal issu Begu Ganjang di Manduamas
(Diakses dari status FB Pdt Renova Sitorus, Kamis, 25 September 2014)
A. Pengantar
Cukup prihatin fenomena masalah Begu Ganjang masih
terus masalah yang fenomenal dalam masyarakat Batak. Hal itu bukan saja berada
di wilayah Bona Pasogit, namun juga merambah ke daerah per
antauan orang Batak.
Rabu, 25 September sesuai pemberitaan Pdt. Renova
Sitorus dalam status FBnya dia berkordinasi dengan pemuka agama dan muspika
kecamatan Manduamas Tapteng. Ini membuktikan bahwa hingga sekarang fenomena
issu Begu Ganjang merupakan salah satu masalah fenomenal dalam masyarakat
Batak. Saya salut dengan Pendeta Renova yang berkodinasi dengan pemuka agama dan
mendiskusikan bersama langkah-langkah antisipatif dalam menghempang issu begu
ganjang dalam masyarakat. Hal seperti ini adalah langkah yang paling efektif
dalam menghentikan meluasnya issu Begu Ganjang di suatu daerah. Jika tidak
tanggap dampaknya akan meluas dan akan terjadi korban kekerasan massa kepada
orang yang dituduh sebagai pemelihara begi ganjang.
atas peristiwa ini, kembali saya membaca ulang tulisan saya tentang issu begu ganjang yang pernah saya muat dalam notes.
atas peristiwa ini, kembali saya membaca ulang tulisan saya tentang issu begu ganjang yang pernah saya muat dalam notes.
B.
Beberapa Pandangan Tentang Begu Ganjang.
Jika kita runut dan evaluasi berbagai berita dan pemberitaan tentang
issu begu ganjang, setidaknya ada empat pemahaman yang berbeda perihal Begu
Ganjang yang muncul di tengah-tengah masyarakat, yaitu:
1. Begu ganjang sebagai warisan agama Batak
purba.
Pandangan ini masih kuat hidup di tengah-tengah masyarakat
Batak hingga kini. Khususnya masyarakat yang sangat dekat pada pemahaman
kekuatan magic dan perdukunan. Pandangan ini didukung pula dengan ada risert
dari leteratur Batak bahwa sebelum kekristenan
ada dukun yang memelihara begu dengan tujuan baik dan jahat. Tujuan baik
biasanya sebagai 'parjaga' untuk
melindungi seseorang atau memelihara ketentraman suatu kampung atau pelindung
dari niat jahat dari luar kampung. Keyakinan semacam ini masih banyak di
kalangan masyarakat batak. Sedangkan tujuan jahat adalah membuat penyakit
dengan mengirim pangulu balang dan mendatangkan seseorang atau suatu kampung.
Menurut
kepercayaan orang Batak, sebelum kekristenan ada 7 begu yang terdiri dari 2
jenis, yaitu begu yang sudah ada sejak awal dan begu yang berasal dari
manifestasi orang mati. Ketujuh begu tersebut adalah :
1. Begu Toba,
yaitu begu yang menguasai suatu kampung dan merupakan begu lokal.
2. Begu Jau,
adalah begu yang datang dari kampung lain untuk mengganggu penduduk desa
tetangga.
3. Begu Siherut,
begu yang mengakibatkan orang semakin kurus dan kemudian mati.
4. Begu Ladang,
begu yang menguasai ladang/hutan, dan mengganggu orang di sana.
5. Begu Antuk,
begu penyebab penyakit menular, seperti kolera yang menyebabkan kematian yang
tiba-tiba.
6. Begu Siharhar,
adalah begu seorang ibu yang mati pada saat melahirkan atau mati karena bunuh
diri.
7. Begu Ganjang
atau Begu Nurnur, yaitu begu dari orang yang peti matinya terlalu
sempit/pendek.
Khusus mengenai
Begu Ganjang : Menurut kepercayaan "hasipelebeguon" jika seorang
dikuburkan dengan peti mati yang terlalu sempit/pendek maka di dalam kubur dia
meronta-ronta sehingga begu-nya menjadi tinggi, setinggi pohon enau
(aren-bagot). Di antara ke-tujuh begu di atas begu ganjang inilah yang bisa
dipelihara atau dimiliki oleh seseorang dengan suatu "kesepakatan"
tumbal antara sang begu dan calon pemilik. Begu inilah, katanya, yang bisa
diperintah oleh pemiliknya untuk mengganggu, menyakiti, membunuh orang-orang
yang tidak disukainya . Oleh tingginya begu ini maka setiap orang yang
didatanginya otomatis menengadah ke atas dan kesempatan itulah dipergunakan
begu ganjang untuk mencekik korban.
Pandangan seperti ini sebenarnya telah banyak berubah di
kalangan orang Batak khususnya setelah datangnya kekristenan yang menekankan
dunia orang meninggal tidak ada kaitannya dengan dunia orang hidup. Namun harus
diakui masih ada yang menyakini memahami pandangan ini dan tetap ada di
tengah-tengah pemahaman sebagian orang Batak. Apalagi mereka yang dekat
keyakinannya akan perdukunan. Namun bagi sebahagian orang hal ini sungguh sulit
diterima akal karena dianggap tidak logis dan tak masuk akal.
2. Begu ganjang tidak ada tapi penyamaran
kuasa jahat atau iblis.
Ini yang diyakini oleh sebagian orang Batak yang telah
menjadi Kristen dan sangat mudah menerima dan mengembangkan exorcism
(pengusiran roha jahat). Pandangan ini mengakui tidak ada begu yg ada roh jahat
atau roh iblis yg ingin mempengaruhi kehidupan manusia. Roha jahat bisa masuk
di dalam diri seseorang melalui suatu pintu masuk dalam jiwa seseorang. Pintu
masuk dimaksud adalah bisa dalam berbagai hal misalnya, fisik yang lemah,
keturunan dukun, mengalami pergumulan beran dan kurang beriman. Roh jahat ini
bisa memasuki jiwa seseorang dan mempengaruhinya untuk terikat pada roh jahat. Masuknya roh
jahat dalam diri seseorang biasanya menghambat seseorang memiliki hubungan yang
baik dengan Tuhan. Maka agar tidak ada penghalang pada ibadah yg murni perlu
ada pengusiran roh jahat.
Pandangan semacam ini banyak dikembangkan oleh orang
Kristen yang mengembangkan diskusi exorcisme dan okultisme. Di beberapa orang
Kristen ini sangat diterima, bahkan menjadi bidang pelayanan yang sangat
populer. Namun sebagian Kristen juga kurang menerima pandangan semacam ini
karena teori masih mengambang dan sulit dibuktikan secara logis.
3. Begu ganjang sebagai fenomena sosial.
Ini pandangan yg modern dengan berbagai kasus begu ganjang
yang diadili baik secara hukum formal dan pembuktian dalam pencarian bukti yang
disaksikan masyarakat tidak pernah ada bukti yang memuaskan bahwa seseorang
dapat dibuktikan sebagai orang memelihara begu ganjang. Dalam berapa kasus ada
hal-hal yang tidak masuk akal; misalnya dengan klaim dukun ada kertas berisi
nama-nama yang telah meninggal dimana sebagian sudah meninggal dan sebagian
lagi belum. Daftar yang belum meninggal ini diisukan akan menjadi sasaran
berikutnya. Penemuan kertas ini sangat
misteri dan nampaknya kurang berterima. Contoh lain pihak dukun mengklaim
menemukan boneka dengan tertusuk-tusuk jarum, namun proses penemuan bonega
kurang transparan. Artinya ini proses pembuktian parbegu ganjang dalam beberapa
kasus sangat jarang memuaskan namun motif-motifnya sangat memicu pada suatu
misteri, namun tidak secara langsung menyebutkan orang tertentu dalam
pemelihara begu ganjang, namun dengan isiarat dan petunjuk-petunjuk tertentu
untuk menyalurkan kebencian kepada pihak yang dituduhkan sebagai parbegu
ganjang.
Pandangan ketiga ini berpendapat bahwa kasus begu ganjang
ini muncul karena ada situasi tertentu yang muncul dalam masyarakat yang sulit
di terima akal yang bisa kita sebut ‘unlogic’. Misalnya dengan adanya
kasus meninggal tiba2 atau ada penyakit yang aneh secara medis tidak
mendapatkan penjelasan yang memadai di suatu kampung atau daerah. Peristiwa
semacam ini bisa menimbulkan pertanyaan di tengah-tengah masyarakat dan mencoba
meraba-raba apa sesungguhnya yang terjadi. Dalam situasi seperti ini sangat
mudah masuk pengaruh untuk pembuktian macam ini ditanyakan kepada dukun atau
ahli yang didaulat dapat membuktikan atau menjelaskan keadaan ini. Dalam
berbagai kasus dukun semacam ini dapat memberikan ciri-ciri yang dimiliki
seseorang dan dengan secara mudah di tangkap masyarakat dengan menuduh
seseorang pelaku yang memelihara begu ganjang sebagai faktor penyebab munculnya
peristiwa yang ‘unlogic’ dimaksud. Teori
pembuktian seperti ini biasa sangat cepat di terima dalam masyarakat yang dekat
pemahamannya pada magic. Sehingga sang dukun dapat dengan mudah mempengaruhi
masyarakat untuk menuduh seseorang di kampung tersebut sebagai pemelihara begu
ganjang.
Pandangan ini berpendapat jika suatu peristiwa dikampung
tersebut yang ‘unlogic’ dapat dijelaskan dan ditangani secara cepat dan logis
maka peristiwa begu ganjang tidak akan terjadi dalam masyarakat. Dalam
pandangan ini sangat berharap agar para medis dan pelayan gereja dapat
menjelaskan fenomena dalam masyarakat secara logis dan rasional, sehingga
masyarakat tidak diberi ruang untuk bertanya kepada dukun atau yang didaulat
memiliki kemampuan membuktikan parbegu ganjang.
4. Teori penyaluran kebencian pd seseorang.
Ini bisa berdekatan dengan point 3, namun beda motifnya.
Jika pada no 3 pada peristiwa 'unlogic' maka pada point ke empat ini lebih pada
iri atau kebencian pada seseorang. Misalnya seseorang di kampung pekerja keras
dan usahanya tergolong baik, sehingga yang lain yang pernah bersinggungan atau
selisih menjadi faktor yg dominan untuk tuduhan-tuduhan pada seseorang sebagai
parbegu ganjang. Dalam teori sosial bisa ini dikatakan sebagai ‘dirty
tactic’ memanipulasi data dan informasi dengan membungkus issu begu
ganjang sebagai penyaluran kebencian. Teori semacam ini bisa dilakukan oleh
seseorang karena kalah dalam suatu usaha, atau iri terhadap keberhasilan dan
kelebihan orang lain. Namun dalam proses pembuktiannya hampir sama dengan point
ketiga. Seseorang memiliki kelebihan atau berhasil dalam suatu usaha atau
pekerjaan karena dianggap bekerjasama atau karena memelihara begu. Untuk proses
pembuktian ini biasanya diundang dukun yang dianggap ahli dan didaulat memiliki
kemampuan untuk membuktikan seseorang parbegu ganjang.
C. Peran Gereja dan Pelayan
Apakah yang dapat kita lakukan dalam penangkalan Begu Ganjang? Dalam
melihat konteksnya, latar belakang issu
begu ganjang berkaitan dengan keyakinan
dan respon masyarakat keluar dari situasi tertentu yang dianggap tidak biasa. Misalnya terus
gagal panen, ada musibah atau peristiwa-peristiwa aneh yang menjadi
perbincangan warga. Dalam situasi seperti ini agar issu Begu Ganjang dapat
ditangkal, maka beberapa hal dapat dilakukan oleh gereja dan pelayan adalah
sebagai berikut:
1.
Cepat dan tanggap mewaspadai jika ada semacam
kegelisahan dalam masyarakat!
Pendeta mesti tanggap darurat
dan dengan cepat mengantisipasi untuk memberikan pencerahan dalam masyarakat
jika terjadi fenomena sebagaimana dikemukakan di atas, jangan sampai diberi
ruang untuk mendatangkan datu atau dukun untuk menanyakan perihal yang terjadi
dalam masyarakat. Biasanya jika ada rapat-rapat di dalam masyarakat yang
memberi ruang untuk menanyakan dukun atau orang yang didaulat mampu membuktikan
hal ihkwal yang terjadi. Disinilah muncul issu Begu Ganjang yang biasanya
dengan modus yang hampir sama di beberapa daerah. Gereja harus memiliki
langkah-langkah baik pendekatan kepada kepala desa dan bekerjasama dengan tokoh
masyarakat lainnya agar tidak sampai ada pikiran atau niat masyarakat kampung
untuk mengundang secara resmi di kampung tersebut apalagi dengan ritus
tertentu. Dalam hal ini gereja perlu bekerjasama dengan aparatur pemerintah
seperti keamanan atau berbagai lintas ilmu untuk memberikan penjelasan yang
lebih logis dalam mengamati dan mencermati fenomena yang ada di dalam
masyarakat atau desa.
2. Perlu
pendekatan theologis yang tegas bahwa tidak ada kaitan roh orang meninggal
dengan orang yang hidup.
Sebagian orang Batak masih
melekat pemahamannya tentang Begu Ganjang sekalipun telah menjadi Kristen.
Mereka percaya kepada begu itu oleh issu dan provokasi dari orang-orang yang
layak mereka percayai, ditimpali lagi oleh perasaan benci terhadap orang yang
dicurigai, tanpa berpedoman pada nalar apalgi pada iman Kristiani yang
seharusnya mereka pergunakan sebagai pertimbangan untuk mengambil keputusan. Alkitab
tidak pernah berbicara tentang roh orang mati seperti konsepsi 'hasipelebeguon
batak' di atas dengan segala jenis dan peranannya. Rasul Paulus, memang, pernah
berbicara mengenai "roh-roh jahat di udara" -namun itu menunjuk
kepada kuasa iblis dalam segala bentuknya (Efesus 6, 12) - tapi Paulus telah
menyodorkan kepada kita "perlengkapan rohani" untuk menghadapi
semuanya itu (baca Efesus 6, 10-20). Perlu ditekankan bahwa "ndang tutu
adong begu di portibi on, jala ndang adong debata dungkon ni Nasasada i"
(1 Kor. 8, 4)
Hal yang tidak kalah pentingnya adanya
penegasan pada Luk 16:23-26 tentang Lazarus dan orang kaya, dikatakan: “Selain
dari pada itu di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak
terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu ataupun mereka
yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang.” (ay.26).
3. Gereja
melakukan pendidikan iman untuk menjelaskan bahwa dunia orang mati tidak
berkaitan lagi dengan orang yang hidup.
Bukankah jaman missionaris ini
sudah teruji? Di dalam berbagai kasus missionaris diberi tanah yang nota bene
dianggap sebagai parbeguan atau di anggap angker dan terbukti para miissioner
tidak dimakan begu. Sehingga tidak ada lagi semacam keraguan di tengah-tengah
jemaat akan pemahaman roh orang
meninggal.
4. Gereja
dan Pelayan mesti bertindak sebagai pelindung korban.
Ini sangat penting agar tidak terjadi
tindak kekerasan di tengah-tengah warga masyarakat. Amatlah tragis jika pelayan
membiarkan masyarakat melakukan tindak kekerasan yang bisa berakibat kehilangan
nyawa namun gereja tidak berbuat apa-apa. Gereja mesti terpanggil mengeliminasi
kekerasan dan tindak kriminal di tengah-tengah masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar