Kotbah Minggu IV Stlh Ephipanias
Minggu, 28 Januari 2024
Ev. 1 Korintus 8:1-13
JANGAN MENJADI BATU SANDUNGAN
Selamat Hari Minggu! Sahabat yang baik hati, kotbah minggu ini mengajak kita agar tidak menjadi bagu sandungan bagi orang lain. Saya coba merenungkan sejanak apa jadinya jika kaki anda tersandung saat berjalan? Anda bisa jatuh, kaki luka dan rasa sakit yang tidak tertahankan. Bagaimana pula kalau tersandung di depan orang banyak, sakitnya tak seberapa namun malunya tak bisa ditahankan. Pokoknya janganlah kita tersandung dalam menjalani kehidupan ini karena itu sangat menyakitkan dan menyedihkan. Apalagi menjadi batu sandungan, sungguh merupakan penyesalan yang tidak bisa disesali jika oleh kita orang lain terjerumus dalam berbagai kesusahan hidup.
Kotbah minggu ini berbivara tentang jangan menjadi batu sandunga. Suatu ajakan bagi orang percaya agar memelihara sikap keagamaannya tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Orang percaya dipanggil untuk menjadi berkat bukan kutikan, meratakan jalan bukan memutus jembatan sehingga orang lain bisa merasakan nikmatnya hidup. Kita dipanggil menjadi terang, agar setiap orang yang berjalan dalam kegelapan dapat melihat dengan jelas krikil atau lubang di jalan yang dilalui.
Orang percaya dipanggil menjadi garam agar orang lain merasakan nikmat anugerah Tuhan dalam kehidupan ini. Itulah panggilan mulia menjadi seorang murid Kristus. Hadirlah untuk memberkati bukan untuk mengutuki, hadirlah untuk memotivasi bukan untuk mematikan harapan, hadirlah untuk menginspirasi bukan mengecam hingga membekukan pikiran orang lain.
Untuk mengembangkan kehidupan menjadi berkat bukan menjadi batu sandungan ini, marilah kita ambil beberapa pelajaran berharga dari kotbah minggu ini.
1. Akar pengetahuan yang benar
"Cogito ergo sum", aku berpikir maka aku ada. Demikian Descartes menjelaskan bahwa manusia itu adalah apa yang dipikirkan. Pandangan ini menekankan pengetahuan seseorang menentukan keberadaannya. Manusia adalah apa yang diketahuinya. Bagi Descartes pengetahuan adalah fakta, kebenaran atau informasi yang diperoleh melalui pengalaman atau pembelajaran disebut posteriori, atau melalui introspeksi disebut priori. Pengetahuan adalah informasi yang diketahui atau disadari oleh seseorang.
Harus disadari pula pengetahuan akan menentukan sikap seseorang. Dalam dunia pendidikan pengetahuan akan memandu orang dalam kebenaran. Artinya semakin banyak pengetahuan semakin luas pemahamannya akan sesuatu hal, namun sebaliknya apabila pengetahuan seseorang dangkal maka pikirannya sempit memaknai sesuatu.
Dalam kotbah minggu ini, Paulus memperlihatkan pengetahuan berkaitan dengan sikap seseorang. Ada hubungan pengetahuan seseorang dan sikap keagamaan. Pemahaman keagamaan yang dangkal bisa menjadikan seseorang pemganut agama yang radikal, menganggap pemahamannya yang benar yang lain keliru, dia halal yang lain haram, dia saleh yang lain nazis. Sikap keagamaan yang radikal dipengaruhi oleh pengetahuan yang dangkal?
Peristiwa yang terjadi di jemaat Korintus sangat unik. Jemaat ini terdiri dari berbagai latar belakang yang berbeda, ada Kristen Yahudi, ada Yunani dan adan juga diluar keduanya. Jemaat Korintus hidup dalam masyarakat majemuk, seharusnya mereka kaya akan berbagai pandangan karena bisa berasimilasi dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Namun apa yang terjadi sentimen kelompok sangat tinggi dan lahir sikap radikal yang menafikan kelompok lain.
Di Korintus ada satu agenda tahunan, dimana masyarakat memotong korban yang dipersembahkan di kuil. Pesta semacam itu menjadi hari bahagia bagi setiap orang karena dapat menikmati daging. Namun sukacita mereka berubah karena ada kecaman sebagaian dari kaum fundamentalisme Kristen Yahudi. Mereka melarang dan menganggap memakan daging korban itu adalah haram karena itu sudah bahagian dari berhala. Mereka melarang keras dan mengecam sikap Kristen Non Yahudi.
Sementara kaum non Yahudi itu tidak mempermasalahkan hal ini. Bagi.mereka tidak ada berhala disitu. Pesta itu adalah agenda tahunan yang mendatangkan sukacita, makan daging korban yang dipersembahkan di kuil tidak ada kaitannya dengan berhala atau haram atau halal namun mereka mengetahui dan memahami ini adalah agenda tahunan dimana masyarakat umum mendapatkan daging yang melimpah. Paulus memahami pikiran kaum non Yahudi bahwa tidak ada hubungan hal makan dengan berhala. Disebutkan 1 Korintus 8:4, 6 (TB) Tentang hal makan daging persembahan berhala kita tahu: "tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa." namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.
Berbeda dengan sikap kaum Kristen Yahudi, itu adalah sesuatu yang sangat sensitif karena terkait drngan berhala. Pemahaman Kristen non Yahudi yang demikian membuat sikap terhadap daging korban adalah tidak boleh dimakan. Sikap yang menyalahkan ini dari Kristen Yahudi terhadap non Yahudi telah membuat kekeruhan dalam jemaat. Kaum Yahudi mengganggap dirinya kudus sementara non Yahudi dianggap nazis. Kristen Yahudi menganggap diri lebih dekat pada Tuhan dan lebih saleh karena menaati apa yang boleh dan tidak boleh di makan. Akhirnya persekutuanpun tak sedap dan saling menyalahkan dan terpecah belah.
Paulus hadir memberikan penjelasan pengetahuan yang benar akan hal makan atau tidak boleh dimakan . Paulus menyadari bahwa sikap kaum fundamentalis Kristen Yahudi yang demikian karena pemahaman keagamaan Yahudi yang dianutnya. Pengetahuan seperti itu tidak boleh dipaksakan untuk non Yahudi karena soal makan daging bukanlah soal halal atau soal haram. Kita tidak diselamatkan oleh pantangan makanan ini dan itu. Maka iman mereka tidak terganggungu oleh makan atau tidak karena makanan tidak menyelamatkan, tetapi Kristuslah yang menyelamatkan.1 Korintus 8:8 (TB) "Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah. Kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan."
Transfer pengetahuan inilah modal besar untuk berdialog melihat dan mendalami sikap orang lain. Pelajaran ini pula yang harus kita kembangkan dalam kehidupan ini jangan paksakan apa yang kau tahu untuk orang lain namun belajarlah dari apa yang diketahui orang lain. Inilah kehidupan yang dialogis, kehidupan demikian membuat kita tidak mudah menghakimi dan mejudge orang lain.
2. Kebebasan yang dewasa
Tidak menyalahkan kaum non Yahudi yang makan daging bukan berarti menjadi kemenangan kaum non Yahudi. Ada tujuan yang lebih utama dari Rasul Paulus yang sangat berharga yaitu kedewasaan. Setelah Paulus menjelaskan akan pengetahuan yang membebaskan, dia menawarkan agar mereka memiliki sikap kebebasan yang dewasa. Nan Yahudi tidak terganggung imannya, tetapi melihatnya pesta tahunan itu adalah sukacita yang disyukuri. Mereka yang memakan daging yang dipersembahkan kepada berhala tidak mengubah iman mereka dan mereka tidak terlibat dalam ibadah berhala. Pada saat yang sama Paulus menasihati kaum.non Yahudi agar jangan menyalahkan kaum Kristen Yahudi yang tidak makan. Baiklah sikap mereka diterima dan dihormati karena pemahaman yang dimiliki dari agama Yudaisme. Tidak perlu diperdebatkan hal makanan bagi mereka karena itu sensitif. Namun satu oemahaman pemahaman, makanan tidak membuat kita dekat kepada Tuhan. Paulus mengharapkan kaum Yahudi jangan menyalahkan mereka yang non Yahudi karena bagi non Yahudi memakan daging atau tidak itu tidak ada kaitannya dengan berhala. Karena bagi non Yahudi di Korintus 1 Korintus 8:4 (TB) Tentang hal makan daging persembahan berhala kita tahu: "tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa." Mereka percaya sepenuhnya segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah ciptaan Allah yang harus disyukur.
Dan selanjutnya disebutkan 1 Korintus 8:6 (TB) namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.
Disinilah Paulus berperan agar jemaat menyadari perbedaan masing-masing. Perbedaan harus disikapi dengan kedewasaan. Kedewasaan itu lahir dari pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang membuat seseorang semakin terbuka, memahami sikap orang lain dan menghormatinya
Apa yang terjadi di jemaat Korintus adalah cross culture, pertemuan dua pemahaman keagamaan yang berbeda. Perjumpaan dua budaya yang berbeda dan akhirnya saling menerima dan saling menghargai. "Cross culture", menerima dan memahami budaya orang lain menurut pemahamannya. Cross culture tidak boleh menggu akan kaca mata kita menulai praktek kehidupan orang lain dsri sudut pandang kita. Namun praktek budaya orang lain harus dipahami dari dalam budaya mereka; bukan sebagai outsider (orang luar) namun dipahami dari persektip dari dalam (insider). Memang ada kecenderungan setiap budaya menonjolkan mereka yang benar dan orang lain salah. Untuk menghindari sikap yang membenarkan diri dan menyalahkan orang lain maka dibutuhkan bagaimana kita memasuki alam pengetahuan orang lain dan belajar terhadap orang lain.
Sikap dewasa menghadapi perbedaan sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia. Kita hidup dalam perbedayaan yang tajam dan perbedaan itu bisa sangat sensitip karwna perbedaan budaya, ras, suku, agama dan lokalitas yang berbeda. Puji Tuhan Indonesia memiliki satu perekat yang mempersatukan yaitu prinsip "bhinneka tunggal ika". Bereda-beda tetapi tetap satu merupakan sikap yang dewasa menyatukan bangsa Indonesia menjadi negara yang majemuk.
Di Korintus ada Yahudi, ada non Yahudi, ada kalangan atas ada kalangan bawah, ada yang kuat dan ada yang lemah. Mereka semua diajak untuk dewasa, perbedaan itu adalah dakta yang harus diterima, namun jangan samoai perbedaan yang ada diantara mereka mengacaubalaukan persekutuan. Kristus adalah perekat yang mempersatuhan, Dia adalah Tuhan yang telah menebus dan menjadikan setiap orang percaya dalam persekutuan orang kudus. Maka baiklah kita semakin dewasa dalam setiap perbedaan. Miliki atmosfer yang luas jangan picik dan sempit, berpikir yang dalam jangan dangkal seperti sumbu pendek. Dengan demikian kita akan memiliki kedewasaan iman dan terbebas dari fundamentalisme yang radikal.
3. Jangan menjadi batu sandungan:
Kedewasan iman seseorang akan melahirkan sikap hormat pada orang lain, bukan sebaliknya sebagai batu sandungan bagi orang lain.
Dalam Perjanjian Baru ada dua istilah yang dipergunakan untuk menjelaskan kata "batu sandungan, yaitu: proskomma (tou lithou), artinya 'batu sandungan' (Rom 9:32-33; 1 Kor 8:9; 1 Ptr 2:8) kata ini dipakai mengenai setiap bentuk penghalang. Kedua adalah "skandalon" (Rm 11:9, perangkap; 1 Kor 1:23, 1 akor 8:13 batu sandungan; Why 2:14, untuk menyesatkan). (TBI Rm 9:33 menerjemahkan yg pertama batu sentuhan, dan yg kedua batu sandungan.) Batu sandungan juga bisa diartikan sebagai jerat, perangkap atau 'penyulut maut dalam suatu jerat mara' (bnd Mzm 69:23; 140:5). Bnd juga Mat 16:23, 'engkau suatu batu sandungan (skandalon) bagi-Ku'.
Hal yang menarik bahwa di dalam 1 Korintus 8 ini Paulus menggunakan kedua kata tersebut: "proskomma" di ayat 9 dan "skandalon" di ayat 13. Hal ini menjelaskan bahwa batu sandungan yang dimaksudkan Paulus adalah bukanlah suatu jerat atau perangkap yang menjatuhkan orang lain, tetapj suatu tindakan
penyesatan, kejahatan, batu sandungan. Atau hal yang menyebabkan orang lain jatuh dosa atau memberikan kesempatan untuk berdosa;
batu sandungan menyesatkan).
Saya kurang tahu di jaman sekarang ini. Bagaimana kita menyikapi bagian ketiga ini dalam era digital. Sebagai contoh, jika ada status yang baik-baik saja, hanya sedikit orang yang nimbrung mengapresiasi hal-hal baik. Tetapi sebaliknya jika ada hak buruk terlepas dari benar atau tidaknya suatu berita akan ramai dan menjadi viral.
Mungkin benar idiologi dari era informasi sekarang: the bad news is the good news. Berita buruk adalah berita paling bagus.
Harus kita sadari bahwa dalam perjuangan iman, the good news is Good News. Berita Baik adalah berita Injil.
Sahabat yang baik hati! Janganlah menjadi batu sandungan, banyak hal yang harus kita kendalikan dari diri kita:
Pertama, mari periksa diri siapa tahu ada yang merasa diri benar, dan secara terus menerus menyalahkan orang lain? Jika semua salah dan diri kita yang benar jangan-jangan kita sendirilah yang telah salah dan menjadi batu sandungan bagi orang lain. Semua orang pasti memiliki ego, namun jika sudah menjadi egois waspadalah itu menjadi bibit subur menjadi bantu sandungan bagi orang lain.
Kedua, Jangan menjadi batu sandungan merupakan suatu ajakan dari rasul Pulus untuk berhenti mengecam, menilai dan menghakimi orang lain salah, berdosa dan haram dsri sudut pandang.kebenaran kita sendiri. Mungkin karena kita melihat dan menilai dari luar (out sider). Kotbah minggu ini mari mulai melihat dari pengetahuan yang benar dengan mempelajari dari dalam (insider). Metode baru ini akan melahirkan suatu pengetahuan dan pemahaman baru akan arti sikap orang lain.
Ketiga, jangan menjadi batu sandungan merupakan peringatan keras bagi orang percaya. Kita dipanggil untuk hadir di tengah-tengah orang lain menjadi berkat. Jangan sampai oleh karena ulah kita sendiri orang lain tersandung. Amin
Tuhan memberkati!
Salam: Pdt. Nekson M Simanjuntak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar